Minggu, 01 November 2009

Kebudayaan Jepang

Di tengah-tengah teknologi yang serba canggih dan modern, Jepang dikenal sebagai negara yang masih melestarikan kebudayaan tradisionalnya. Salah satunya adalah di bidang kesenian berupa pertunjukan teater klasik. Ada 3 jenis teater klasik yang sangat dikenal di Jepang, yaitu Noh, Kabuki, dan Bunraku. Di antara ketiganya, Noh merupakan pertunjukan teater paling tua sekaligus sebagai pelopor lahirnya pertunjukan teater lainnya.



NOH

Noh merupakan pertunjukan teater klasik yang memadukan tarian, drama, musik, dan puisi diatas panggung berukuran 6 meter persegi. Keunikan dari pertunjukan Noh yaitu semua pemainnya adalah pria. Ini berarti karakter wanita yang ada dalam pertunjukan tersebut juga dimainkan oleh pria. Hampir sama dengan pertunjukan teater lainnya, Noh juga dimainkan diatas panggung [butai] dalam ruangan tertutup. Panggung Noh terdiri atas 3 bagian utama. Bagian pertama yaitu hashigakari, berupa koridor yang terhubung dengan panggung sebagai jalan masuk menuju panggung. Kedua adalah kagami-ita (papan dekorasi) bergambarkan pohon cemara yang berada di panggung bagian belakang. Bagian ketiga adalah butai (panggung) itu sendiri.
Para pemail Noh tergolong sangat sedikit karena hanya terbagi menjadi 2, yaitu tokoh utama dan tokoh kedua. Tokoh utama dalam pertunjukan ini hanya satu orang, yang disebut dengan istilah shite, yang posisinya berada tepat di tengah-tengah panggung. Setiap kemunculannya, shite selalu mengenakan kostum yang terdiri dari 5 lapisan beserta topeng terbuat dari kayu yang diganti-ganti sesuai dengan peran yang dimainkan. Ini dimaksudkan karena seorang shite bisa memerankan 5 karakter di atas panggung. Karakter pertama adalah kami (dewa) dengan latar kuil Shinto, sedangkan yang kedua disebut shura mono (tokoh prajurit) dengan pakaian samurai. Peranketiga disebut kazura mono dimana peran utamanya adalah seorang wanita. Peran keempat kyojo mono merupakan tokoh wanita yang menjadi gila karena kehilangan kekasih atau anaknya. Yang terakhir adalah kiri berwujud iblis. Shite kadang-kadang ditemani oleh tsure (pengikut tokoh utama), yang terdiri dari satu orang atau lebih. Selanjutnya ada tokoh kedua yang disebut dengan waki, yang umumnya memerankan karakter seorang biksu tanpa mengenakan topeng. Sama seperti shite, waki juga memiliki pengikut yang disebut waki-tsure. Posisi waki berada di pinggir panggung sebelah kanan. Sisanya yang memenuhi panggung adalah kouken (asisten tokoh utama) yang duduk di depan dekat hashigakari dan papan dekorasi, 3 orang penabuh taiko (drum) dan seorang pemain fue (suling) yang berada di belakang shite, serta sekelompok paduan suara yang disebut jutai. Kelompok ini biasanya terdiri dari 8-12 orang yang duduk dalam 2 barisan di panggung sebelah kanan berdekatan dengan waki. Tugas mereka adalah mengucapkan narasi dan latar belakang cerita. Kadang-kadang mereka juga menggambarkan emosi dan pikiran para tokoh.
Kisah dalam pertunjukan Noh umumnya berkisar pada kehidupan kaum aristokrat, namun mengandung unsure ajaran agama Budha yang disertai dengan ajaran-ajaran moral. Meskipun temanya cukup berbobot dan terkesan serius, namun pada pertengahan pertunjukan biasanya diselingi dengan pertunjukan kyogen, yang merupakan bagian dari Noh. Berbeda dengan Noh yang mengutamakan unsur musik, kyogen lebih banyak dialog dan kisahnya cenderung dibumbui unsur humor. Pertunjukan kyogen yang memakan waktu sekitar satu setengah jam inilah yang membuat muda-mudi Jepang tertarik dengan Noh.

Sejarah Noh
Noh mulai berkembang di Jepang sekitar awal abad ke-14, dimana saat itu pertunjukannya merupakan kombinasi antara sarugaku (seni pertunjukan yang berasal dari Cina) dan dengaku (tarian tradisional Jepang). Pertunjukan ini lalu mulai dipopulerkan pada akhir abad ke-14 oleh seseorang bernama Kanami Kiyotsugu (1333-1385). Saat itu Kanami bersama anak laki-lakinya, Zeami Motokiyo (1363-1443), mengadakan pertunjukan Noh di depan kaisar Ashikaga Yoshimitsu (1358-1408). Kaisar Ashikaga rupanya menaruh perhatian besar pada pertunjukan tersebut, sehingga ia memberikan penghargaan pada keduanya, yang sekaligus menaikkan status sosial mereka. Pada masa ini Noh mengalami perkembangan pesat. Selama terjadi perang saudara pada tahun 1467-1568, Noh disebarkan bersama lewat kesenian lainnya, seperti upacara minum teh [chanoyu] dan ajaran agam Budha pada seluruh lapisan masyarakat. Ketika perang berakhir dan kekaisaran dipegang oleh Hideyoshi Toyotomi dan Tokugawa Ieyasu (keduanya berasal dari kaum militer), Noh dianggap sebagai kebudayaan yang eksklusif untuk kaum bangsawan, sehingga rakyat biasa dilarang mempelajari musik maupun tarian Noh.
Memasuki periode Edo (1603-1868) saat kekuasaan militer mulai runtuh, Noh dijadikan sebagai seni teater resmi untuk semua kalangan rakyat. Saat itu Noh menjadi sangat popular, dan banyak orang yang belajar untuk menjadi pemain Noh. Sayangnya, zaman keemasan itu mulai menurun pada periode Meiji (1868-1912) karena orang-orang mulai meninggalkan kesenian tersebut. Ketika Noh diambang ‘kepunahan’, sekelompok orang yang masih eksis sebagai pemain Noh kemudian bergabung dan mencari sponsor sambil menjadi guru untuk para pemula. Usaha itu membuat Noh dapat bertahan hingga saat ini, meskipun kepopulerannya tidak sama seperti saat periode Edo. Kalau diperhatikan, para pemain Noh kebanyakan berasal dari keluarga yang dulunya juga merupakan pemain Noh. Bisa dibilang profesi ini diwariskan secara turun-temurun. Di zaman yang modern ini, Noh masih sering dipentaskan di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Kyoto. Peminatnya kebanyakan orang tua, namun dewasa ini Noh juga digemari anak muda, khususnya karena di dalamnya diselipkan pertunjukan kyogen.



BUNRAKU

Pertunjukan boneka atau puppet theater sudah dikenal sejak zaman dulu hampir di seluruh negara, termasuk Jepang. Di Jepang ada sebuah pertunjukan boneka kuno bernama bunraku yang sangat berbeda dengan pertunjukan boneka di Eropa dan negara-negara lainnya. Boneka [ningyou] pada pertunjukan bunraku umumnya berukuran hampir setengah orang dewasa. Boneka tersebut tidak digerakkan menggunakan benang, melainkan dimainkan oleh omozukai (dalang) langsung di atas panggung. Dan uniknya lagi, satu tokoh boneka bisa dimainkan oleh 3 orang dalang sekaligus. Dalang pertama biasanya menggerakkan kepala dan lengan kanan, sedangkan dalang kedua menggerakkan lengan kiri, dan dalang ketiga menggerakkan kaki boneka. Untuk menyamarkan panggung agar tidak terkesan penuh, dalang kedua dan ketiga biasanya mengenakan pakaian serba hitam dan kerudung hitam untuk menutup kepala, meski kadang kerudung itu dibuka di pertengahan pertunjukkan bila penonton sudah hanyut dalam cerita. Khusus boneka wanita biasanya tidak ada kaki karena mengenakan kimono panjang. Menjadi omozukai profesional tidaklah mudah, karena diperlukan latihan selama kurang lebih 10 tahun.
Selain pemain boneka atau dalang, dalam pertunjukan bunraku juga ada penyanyi dan pemain shamisen yang duduk berdampingan di sebelah kiri dan kanan panggung. Di sini tugas penyanyi adalah menceritakan seluruh karakter boneka yang muncul dengan membaca narasinya, sedangkan pemain shamisen akan memainkan musik setiap pergantian adegan. Kombinasi penyanyi dan pemain shamisen ini dikenal dengan istilah joururi, karena itulah bunraku kadang disebut juga dengan istilah ningyou joururi.
Bunraku ditemukan pertama kali di Osaka pada tahun 1684, sama tuanya dengan pertunjukan Kabuki dan Noh. Sama seperti kabuki, saat itu hanya kalangan aristokrat saja yang boleh mempelajari bunraku. Barulah pada abad ke-17 bunraku mulai dipopulerkan ke kalangan rakyat setelah Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) membuat karya Sonezaki Shinju (Love Suicide at Sonezaki) yang ceritanya menyentuh seluruh kalangan karena diambil dari kisah nyata mengenai pasangan kekasih yang bunuh diri, seperti kisah Romeo and Juliet. Karena banyak kasus bunuh diri yang diilhami dari Sonezaki Shinju, karya tersebut sempat dianggap ilegal oleh pemerintah, tapi berkat karya itu Chikamatsu dinobatkan sebagai tokoh bunraku dan Shakespeare dari Jepang. Hingga sekarang tema yang sering diangkat dalam cerita bunraku biasanya seputar konflik sosial [giri] dan perasaan manusia [ninjou].
Pada periode Meiji (1686-1912) saat masuknya budaya barat ke Jepang, bunraku mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1966 pemerintah Jepang berusaha melestarikan bunraku dengan membangun teater bunraku modern National Theater di Tokyo dan National Bunraku Theater di Osaka. Dalam setahun biasanya teater yang berkapasitas 750 orang penonton itu menggelar 4 kali pertunjukan bunraku. Dewasa ini antusias orang Jepang terhada bunraku memang masih besar, tapi yang menjadi masalah adalah berkurangnya pengrajin boneka bunraku, apalagi pelatihan menjadi seorang omozukai membutuhkan waktu panjang yang tidak diminati oleh generasi muda sekarang ini.



KABUKI

Sejarah Kabuki-kyogen dimulai pada tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di Kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal Kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina untuk masyarakat kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh [kabukimono]. Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) yang terdapat di gedung teater Kabuki-za kemungkinan besar merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).
Kesenian kabuki yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Saat itu terdapat pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan oleh onna-kabuki sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 onna-kabuki dilarang untuk dipentaskan. Pertunjukan wakashu-kabuki juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarou Kabuki (野郎歌舞伎) yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya onna-kabuki dan wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan konsep baru dalam dunia estetika. Kesenian yarou kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.
Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi kabuki-odori (tarian) dan kabuki-geki (sandiwara). Kabuki odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran wakashu-kabuki, dimana remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.
Kabuki geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk "habis-habisan meniru kyogen" merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat. Tema pertunjukan kabuki geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki Kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan cerita-cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.
Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang berjalannya waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi pergantian adegan. Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian panggung bernama hanamichi yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi penonton. Hanamichi dilewati aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari panggung, sehingga dapat menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga berkembang sebagai pertunjukan tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti teknik Séri (bagian panggung yang bisa naik-turun sehingga memungkinkan aktor muncul perlahan-lahan dari bawah panggung), dan Chuuzuri (teknik menggantung aktor dari langit-langit atas panggung untuk menambah dimensi pergerakan ke atas dan ke bawah seperti adegan hantu terbang).
Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita Ningyo Joururi yang khas dari daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Penulis sandiwara kabuki, Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata mulai paruh kedua zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai sandiwara [shibai].


Sejarah Kabuki Sejak Zaman Meiji
Kepopuleran kabuki tetap tidak tergoyahkan sejak zaman Meiji walaupun sering menerima kritik. Di antaranya, kalangan intelektual menganggap isi cerita kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam dan luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga mau tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki, misalnya : alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau feodal, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam sekejap.
Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan pembaruan yang disebut Engeki Kairyou Undou juga melibatkan pemerintah Meiji yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati oleh kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater kabuki yang disebut Shimpa.
Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-kabuki, dengan karya-karya baru itu banyak bermunculan hingga di awal zaman Showa. Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki yang mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti Tsubouchi Shoyo, Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begita suka hingga menulis naskah baru untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam Shin-kabuki yang tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan.
Setelah Perang Dunia II, Jepang akhirnya mulai menyadari pentingnya bentuk kesenian kabuki yang asli. Di tahun 1965, pemerintah Jepang menunjuk kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi dan pemerintah membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo yang di antaranya digunakan untuk pentas kabuki.
Selain itu, Ichikawa Ennosuke III berusaha menghidupkan kembali naskah-naskah kabuki lama yang sudah jarang dipentaskan. Naskah kabuki yang jarang dipentaskan dan dihidupkan kembali oleh Ichikawa Ennosuke III dikenal sebagai Fukkatsu-kyogen (kyogen yang dihidupkan kembali). Kabuki yang dipentaskan Ichikawa Ennosuke III disebut Supa-kabuki (kabuki super), karena Ennosuke mencoba teknik pementasan lebih berani dengan menghidupkan kembali trik panggung yang dulunya pernah dianggap selera rendah oleh banyak orang. Belakangan ini, pertunjukan kabuki juga sering menampilkan dramawan dan sutradara teater di luar lingkungan kabuki sebagai sutradara tamu.
Pementasan kabuki di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan pementasan kabuki di zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Unsur teatrikal Kabuki-kyogen
Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan di zaman Edo yang sampai sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Joururi [Bunraku]. Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyogen, tapi Gidayu-kyogen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyogen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung). Penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada Ningyo Joururi, semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari dramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki no sekai (太平記の世界 - Dunia Taiheiki), Heike monogatari no sekai (平家物語の世界 – Kisah Dunia klan Heike), Sogamono no sekai (曾我物の世界 - Dunia Sogamono), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 - Dunia Sumidagawamono). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan yang diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan materi pementasan tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Pementasan yang dilakukan malam hari sesudah matahari terbenam tidak diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati orang dan pemerintah khawatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan pemerintah. Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama, antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.
Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi menyukai Sewamono, sehingga kabuki dalam pementasannya dituntut untuk bisa memuaskan selera semua kalangan penonton. Dalam usaha memuaskan selera penonton, pada pementasan kabuki sering dipertunjukkan dua cerita sekaligus, Jidaimono dan Sewamono yang dipisahkan dengan waktu istirahat. Pementasan dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak sedikit asalkan penonton senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai dari berbagai cerita dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai penonton saja. Pertunjukan seperti ini disebut Midori-kyogen (konon berasal dari kata Yoridori midori yang dalam bahasa Jepang berarti serbaneka atau aneka ragam). Sebaliknya kyogen yang mementaskan keseluruhan cerita secara lengkap disebut Toshi-kyogen.

Musik Kabuki
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayubushi. Takemoto [Chobo] adalah sebutan untuk Gidayubushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.



MYTHICAL CREATION OF JAPAN

Kebudayaan Jepang mengenal banyak sekali dewa-dewa yang disebut kami, bahkan menurut mitologinya, kepulauan Jepang sendiri lahir dari para dewa. Seperti menurut banyak mitologi di berbagai belahan dunia, sebelum terciptanya dunia, yang ada hanyalah “chaos” (ketidakberaturan). Mitologi Jepang percaya bahwa dari chaos itu muncul surga/langit dan bumi. Dari surga terciptalah Ama no Minaka Nushi no Mikoto, kemudian Takami Musubi no Mikoto, dan Kammi Musubi no Mikoto. Ketiga Mikoto pertama disebut sebagai Pencipta (heavenly deities), bukan dewa. Dari ketiga Mikoto ini kemudian menciptakan sepasang dewa-dewi, Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, yang diperintahkan untuk menciptakan Jepang.
Dibekali dengan tombak sakti Amanonuhoko, keduanya diutus ke Amenoukihashi (Floating Bridge of Heaven), sebuah jembatan yang memisahkan antara bumi dan surga. Dari Amenoukihashi, mereka menurunkan tombak Amanonuhoko ke dalam laut. Ketika diangkat kembali, tetesan air laut yang jatuh berubah menjadi pulau. Di pulau itu mereka mulai membentuk dunia baru. Izanagi dan Izanami melahirkan anak-anak pertama, Hiruko dan Awashima, namun tidak sempurna bentuknya dan tidak dianggap sebagai dewa sehingga keduanya dibuang ke laut. Selanjutnya Izanagi dan Izanami melahirkan Ouyashima-kuni atau delapan pulau besar di Jepang, yaitu : Awazi, Iyo [Shikoku], Ogi, Tsukusi [Kyushu], Iki, Tsushima, Sado, dan Yamato [Honshu]. Pulau Hokkaido, Chishima, dan Okinawa tidak termasuk dalam kepulauan Jepang menurut mitologi kuno. Izanami masih terus melahirkan banyak pulau dan dewa-dewi. Tetapi ketika melahirkan dewa api, Kagutsuchi, tubuhnya terbakar dan meninggalkan dunia menuju Yomi, dunia orang mati.
Izanagi sangat sedih dan tidak rela istrinya meninggal sampai-sampai mengejar Izanami ke dunia orang mati. Namun terlambat karena disana Izanami sudah memakan makanan untuk orang mati dan tubuhnya membusuk. Izanagi yang terkejut melihat keadaan tubuh istrinya, ketakutan dan berlari keluar dari Yomi. Izanami marah dan menyuruh setan-setan shikome untuk mengejar Izanagi. Begitu berhasil keluar dari Yomi, Izanagi menyegel pintunya sehingga para shikome dan Izanami tidak bisa lagi mengejarnya. Izanami bersumpah akan membunuh 1000 orang setiap harinya, tapi Izanami membalas bahwa ia akan menciptakan 1500 kehidupan baru sebagai gantinya. Dari sinilah awal kematian dan kehidupan, yang disebabkan oleh dendam Izanami terhadap suaminya.
Setelah keluar dari Yomi, Izanagi pergi menyucikan diri [misogi] di sebuah sungai. Dari tetesan air yang membasuh matanya, lahirlah Amaterasu, sang dewi matahari, dari mata kiri Izanagi. Sedangkan dari mata kanannya, lahir Tsukiyomi, dewa bulan. Dari hidung sang dewa, lahir pula Susanoo, dewa angin dan badai. Izanagi memerintahkan Tsukiyomi berkuasa atas siang dan malam, sedangkan Amaterasu memerintah Takamagahara (surga) dan memberinya hadiah berupa kalung suci miliknya. Susanoo yang diperintahkan Izanagi untuk berkuasa atas lautan menolak dan ingin bersama ibunya di Yomi.
Sebelum pergi, Susanoo mendatangi Amaterasu dan berdalih ingin mengucapkan salam perpisahan. Amaterasu tahu maksud Susanoo sebenarnya adalah mengambil alih kerajaannya dan ia pun bersiap menghadapi saudaranya itu. Untuk membuktikan siapa yang terkuat, mereka berdua bertanding siapa yang mampu menciptakan dewa. Amaterasu mematahkan pedang milik Susanoo menjadi 3 bagian, memakannya dan ketika dikeluarkan lagi, muncul 3 dewi. Sedangkan Susanoo merebut kalung suci Amaterasu, memecahkannya dan dari sana muncul 5 dewa. Saat Susanoo menyatakan kemenangannya, Amaterasu mendebat. Karena dewa itu lahir dari kalung milikinya, maka seharusnya dialah yang menang. Susanoo tidak terima dan membuat kekacauan. Amaterasu yang ketakutan melarikan diri dan bersembunyi di gua Amano Iwato, menyebabkan dunia diliputi kegelapan. Dewa-dewi yang lain berusaha membujuk Amaterasu agar keluar dari gua agar dunia kembali menjadi terang, tapi Amaterasu menolak. Ame-no-Uzume, dewi fajar dan keceriaan, mempunyai ide memancingnya keluar dengan menari sambil membawa cermin. Dewa-dewi yang lain bersorak menontonnya dan membuat Amaterasu mengintip karena tertarik. Ketika melihat bayangannya sendiri di cermin, Amaterasu keluar untuk melihat lebih dekat dan matahari pun kembali bersinar.



SHICHI FUKUJIN
THE SEVEN DEITIES


Jepang memiliki percampuran budaya keagamaan yang unik. Ajaran Budha yang diadaptasi dari Cina berkembang menjadi aliran Budha Zen, lalu ajaran Tao juga ikut masuk, dan ditambah sedikit pengaruh Hindu (dari India). Salah satu bukti percampuran ini adalah dengan dikenalnya Shichi Fukujin atau The Seven Deities dalam kepercayaan Shinto.
Shichi Fukujin adalah tujuh dewa yang dianggap mewakili setiap aspek kebaikan serta pembawa keberuntungan. Mereka terdiri dari Bishamon, Benten, Daikoku, Ebisu, Fukurokuju, Hotei, dan Jurojin. Dari ketujuh dewa ini hanyan Daikoku dan Ebisu yang diambil dari kepercayaan asli masyarakat Jepang. Sisanya merupakan versi dewa dari ajaran Budha yang datang dari Cina, sedangkan Benten dan Bishamon diambil dari kepercayaan Hindu, dan Hotei sendiri berasal dari ajaran Tao.

Bishamon
Digambarkan sebagai ksatria berpakaian zirah lengkap, yang setiap saat siap berperang melawan kejahatan. Ia selalu membawa miniatur pagoda dan tombak. Bishamon melambangkan nilai-nilai kepahlawanan dan kedisiplinan.

Benten
Satu-satunya wanita dalam Shichi Fukujin. Benten diasosiasikan dengan laut. Ia sering digambarkan sedang mengendarai naga atau naga laut. Benten adalah perlambang idealism kecantikan dan sopan santun seorang wanita. Juga melambangkan pencapaian sempurna dalam pengetahuan dan seni. Sehingga tak jarang ia digambarkan sedang membawa biwa.

Daikoku
Adalah dewa kemakmuran, pelindung para petani. Daikoku kadang digambarkan sedang duduk di atas gulungan nasi yang dibawahnya terdapat tikus-tikus yang sedang memakan nasi tersebut. Ciri khas Daikoku adalah ia selalu membawa sejenis palu yang dapat mengabulkan permintaan manusia.

Ebisu
Adalah pelindung para pedagang dan nelayan. Ebisu merupakan lambang kejujuran dan kerja keras. Ia digambarkan sedang memegang ikan besar, serta kail dan jala untuk menangkap ikan.

Fukurokuju
Mudah dikenali karena bantuknya cukup aneh (dengan bagian kepala yang “tinggi”). Ia melambangkan kebahagiaan, kebijaksanaan, dan panjang umur. Ia sering digambarkan sedang bersama bangau, kura-kura, dan rusa jantan.

Hotei
Digambarkan sebagai sosok biksu yang memiliki perut besar. Dalam budaya Asia, perut besar dianggap sebagai lambang kemakmuran, bukan ketamakan. Ia sering digambarkan sedang duduk di atas buntalan sambil tertawa riang. Ia melambangkan kebahagiaan yang didapat dari mengikuti ajaran Budha, dan juga kesehatan yang sempurna.

Jurojin (atau kadang disebut Gama)
Melambangkan kebahagiaan dalam usia tua. Karena itu sosoknya kerap digambarkan memiliki janggut putih yang panjang dan ditemani seekor rusa jantan. Ia mempunyai sebuah tongkat alat bantu berjalan dimana di tongkat tersebut tergantung gulungan kertas berisi hal-hal bijak di dunia dan umur setiap penduduk dunia.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jepang sering menaruh satu atau beberapa patung Shichi Fukujin dalam rumah mereka. Keberadaan mereka bukan hanya sebagai mitos, tapi merupakan bentuk tradisi dan kepercayaan, sekaligus menjadi pengingat agar mereka menjalani hidup dengan lebih bijaksana.

Kamis, 10 September 2009

Faktor-faktor Penyebaran Makhluk Hidup
Faktor Abiotik
Faktor Biotik

Faktor Abiotik
Faktor abiotik merupakan faktor fisik yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan.
Faktor abiotik meliputi:
1. Iklim
1. Suhu
2. Sinar Matahari
3. Angin
4. Kelembapan Udara
2. Air
3. Keadaan Tanah (Faktor Edafik)
4. Ketinggian Tempat
5. Garis Lintang

Suhu
Kondisi suhu udara sangat berpengaruh terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan, karena jenis spesies tertentu memiliki persyaratan suhu lingkungan yang ideal atau suhu optimum bagi kehidupannya, serta batas suhu maksimum dan minimum untuk tumbuh yang dinamakan tolerensi spesies terhadap suhu. Suhu bagi tumbuh-tumbuhan merupakan faktor pengontrol bagi persebarannya sesuai dengan letak lintang, ketinggian dan sebagainya. Penamaan habitat tumbuhan biasanya sama dengan nama-nama wilayah berdasarkan lintang buminya, seperti vegetasi hutan tropik, vegetasi lintang sedang, dan sebagainya.

Kelembapan Udara
Kelembaban berpengaruh langsung terhadap kehidupan tumbuhan. Ada tumbuhan yang sangat cocok hidup di daerah kering, daerah lembab bahkan ada yang dapat hidup di daerah yang sangat basah. Berdasarkan tingkat kelembaban lingkungan habitatnya, dunia tumbuhan dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Xerophyta (Xerofit), yaitu tumbuhan yang sangat tahan terhadap lingkungan kering atau kondisi kelembaban udara yang sangat rendah, misalnya kaktus. b. Mesophyta (Mesofit), yaitu tumbuhan yang sangat cocok hidup di lingkungan yang lembab tetapi tidak basah, seperti anggrek dan cendawan. c. Hygrophyta (Higrofit), yaitu tumbuhan yang sangat cocok hidup di daerah basah, seperti teratai, eceng gondok, dan selada air. d. Tropophyta (Tropofit), yaitu jenis tumbuh-tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan musim hujan dan musim kemarau. Tropophyta merupakan tumbuhan khas iklim muson tropik. Kaktus Anggrek Lotus Cendawan/jamur.

Angin
Angin adalah massa udara yang bergerak. Penyebab angin timbul adalah tekanan udara di suatu tempat. Massa udara akan bergerak dari tempat atau daerah yang bertekanan tinggi menuju tekanan yang rendah, tekanan ini juga di pengaruhi oleh lamanya penyinaran oleh matahari.
Angin sangat membantu dalam proses penyerbukan atau pembuahan beberapa jenis tumbuhan, sehingga proses regenerasi tumbuhan dapat berlangsung. Bahkan ada tumbuhan tertentu yang penyebaran benihnya dilakukan oleh angin. Contohnya, ilalang atau sejenis rumput-rumputan.

Air
Untuk memenuhi kebutuhan akan air, tumbuh-tumbuhan sangat tergantung pada curah hujan dan kelembaban udara. Banyak sedikitnya jumlah curah hujan di suatu tempat akan membentuk karakter yang khas bagi formasi-formasi vegetasi di muka bumi. Kekhasan jenis-jenis vegetasi, dapat mengakibatkan adanya hewan-hewan yang khas pada lingkungan vegetasi tertentu, karena tunbuh-tumbuhan merupakan produsen yang menyediakan makanan bagi hewan.
Dengan kata lain curah hujan juga mempengaruhi volume air pada suatu daerah karena air sangat di butuhkan di beberapa tempat untuk menyeimbangkan ekosistem, kebanyakan dari organisme membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya.

Ketinggian
Faktor ketinggian permukaan bumi umumnya dilihat dari ketinggiannya dari permukaan laut (elevasi).
emakin tinggi suatu daerah semakin dingin suhu di daerah tersebut. Demikian juga sebaliknya bila lebih rendah berarti suhu udara di daerah tersebut lebih panas. Setiap naik 100 meter suhu udara rata-rata turun sekitar 0,5 derajat Celcius. Jadi semakin rendah suatu daerah semakin panas daerah tersebut, dan sebaliknya semakin tinggi suatu daerah semakin dingin daerah tersebut. Oleh sebab itu ketinggian permukaan bumi besar pengaruhnya terhadap jenis dan persebaran tumbuhan.


Faktor Biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

Adaptasi
Faktor biotik akan membuat beberapa spesies harus dapat melakukan adaptasi. Adaptasi adalah penyesuaian makhluk hidup terhadap lingkungan di sekitarnya.
Dari waktu ke waktu, beberapa hewan melakukan beberapa jenis adaptasi yaitu:
1. Adaptasi morfologi
Adaptasi morfologi merupakan penyesuaian bentuk tubuh untuk kelangsungan hidupnya.
2. Adaptasi fisiologi
Adaptasi fisiologi merupakan penyesuaian fungsi fisiologi tubuh untuk mempertahankan hidupnya.
3. Adaptasi tingkah laku
Adaptasi tingkah laku merupakan adaptasi yang didasarkan pada tingkah laku.

Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Keseimbangan Ekosistem
Dalam setiap daerah pasti terdapat interaksi antara lingkungan abiotik dan biotik.
Manusia mampu mengubah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Manusia dapat menyebarkan tumbuhan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Selain itu manusia juga mampu mempengaruhi kehidupan fauna di suatu tempat dengan melakukan perlindungan atau perburuan binatang. Hal ini menunjukan bahwa faktor manusia berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna di dunia ini.
Keseimbangan ekosistem dapat terganggu jika komponen-komponen penyusunnya rusak atau bahkan hilang. Yang menjadi penyebab hilangnya disebabkan oleh kegiatan manusia dan beberapa bencana alam yang terjadi.
Pembangunan yang telah dilakukan manusia terhadap alam yang sudah ada sangatlah besar pengaruhnya terhadap persebaran makhluk hidup. Beberapa lingkungan telah dijadikan pemukiman oleh manusia dan sebagainya di manfaatkan untuk sarana-sarana lainnya.
Aktivitas manusia menyebabkan beberapa populasi hewan menjadi semakin sedikit. Seperti perburuan, bagi manusia perburuan merupakan hal yang sangat menarik di masyarakat modern ini, mereka menganggap bahwa berburu adalah hobi.

Reproduksi dan Pertumbuhan
Makhluk hidup mampu menghasilkan sendiri keturunannya melalui proses reproduksi. Reproduksi dapat berupa pembelahan sebuah sel menjadi dua sel baru. Istilah reproduksi umumnya digunakan untuk menyebut proses menghasilkan suatu individu baru (secara aseksual, yaitu dari satu organisme induk, ataupun secara seksual, yaitu dari dua organisme induk yang berbeda), walaupun istilah tersebut sebenarnya juga menggambarkan proses menghasilkan sel-sel baru dalam proses pertumbuhan.
Kita mengenal tiga jenis reproduski sel, yaitu Amitosis, Mitosis dan Meiosis (pembelahan reduksi). Amitosis adalah reproduksi sel di mana sel membelah diri secara langsung tanpa melalui tahap-tahap pembelahan sel.
MITOSIS adalah cara reproduksi sel dimana sel membelah melalui tahap-tahap yang teratur, yaitu Profase Metafase-Anafase-Telofase. Antara tahap telofase ke tahap profase berikutnya terdapat masa istirahat sel yang dinarnakan Interfase (tahap ini tidak termasuk tahap pembelahan sel). Pada tahap interfase inti sel melakukan sintesis bahan-bahan inti.
Dalam proses pertumbuhan, suatu makhluk hidup mengalami peningkatan ukuran pada semua atau sejumlah besar bagian tubuhnya. Pada organisme multiseluler, pertumbuhan biasanya berarti pertumbuhan populasi sel akibat proses perbanyakan sel. Pertumbuhan umumnya diiringi dengan perubahan bentuk dan fungsi bagian tubuh makhluk hidup, yaitu dalam proses pertumbuhan. Beberapa spesies memerlukan gizi yang cukup dalam proses pertumbuhannya.